Selasa, 07 April 2009

Menelusuri Jejak-Jejak Kerajaan Inderapura di Muaro Sakai.

Puing-Puing bekas Istana Kerajaan Inderapura

Kerajaan Inderapura terletak di Muaro Sakai kenagarian Inderapura kecamatan Pancung Soal Kabupaten Pesisir Selatan.

Kerajaan inderapura ini pernah mengalami kejayaan pada abad ke XVII-XVIII.

Samuderapura yang menjadi Bandar kerajaan Inderapura sangat ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang eropa,asia dan timur tengah.

Kerajaan ini menjadi rebutan dari berbagai pihak dikarenakan posisinya sebagai kota pantai yang menjadi pusat perdagangan dengan komoditi utama emas dan lada (merica).

Hal ini dapat bertahan agak lama karena Kerajaan Inderapura juga memiliki armada laut yang kuat.

Dalam beberapa cerita di masyarakat ada yang mengatakan kalau kerajaan Inderapura berada dibawah kekuasaan pagaruyung,tetapi sampai saat ini tidak satupun bukti yang dapat membuktikan Kerajaan Inderapura ini tunduk kepada Kerajaan Pagaruyung.

Hal ini dapat dilihat dari cara Kerajaan Inderapura mengurus kerajaannya baik keluar maupun kedalam.

Tidak tersebut nama pagaruyung ketika Kesultan Aceh menanamkan pengaruhnya di Inderapura.Juga tentang batas kerajaan Inderapura yang hamper sama dengan batas-kerajaan pagaruyung. Ke utara sampai ke natal airbangis,ke selatan sampai teratak air hitam,ketimur sampai ke Durian ditakuk raja dan sebelah barata adalah samudera Indonesia.

Hal ini memang menjadi pertanyaan yang masih misterius untuk diungkapkan apakah ada hubungan antara Kerajaan Inderapura ini denagn kerajaan Pagaruyung.

Walau sekarang Kerajaan Inderapura sudah tidak ada lagi tetapi bekas-bekas kerajaan itu masih dapat kita jumpai di Muaro sakai Inderapura,kecamatan Pancung Soal Kabupaten pesisir Selatan Diantaranya :

Meriam besar yang terdapat di sekitar reruntuhan istana


Benda-benda pusaka milik kerajaan Inderapura


Makam raja Inderapura


Rumah Ahli waris kerajaan inderapura di Muaro Sakai Inderapura

Untuk mencapai lokasi bekas kerajaan Inderapura ini melalui jalan darat adalah dari Padang menuju Painan kabupaten Pesisir Selatan terus ke Inderapura kecamatan pancung Soal,setiba di Inderapura belok ke kanan ke arah Muaro sakai.sesampai di Pasar Minggu Muaro sakai wisatawan cari rumah yang ada meriamnya.Disini tanya nama Siti Agustina atau lebih dikenal dengan nama Uniang Gustina atau Bapak St.Zainal Arifin Abas kedua nama tersebut adalah ahli waris dari kerajaan Inderapura atau Bapak Mardiyon (oyon las) bapak ini merupakan sumando dirumah tersebut.
Wisatawan akan memperoleh penjelasan tentang kerajaan Inderapura dari orang-orang tersebut.
Selamat menelusuri Jejak-jejak kerajaan Inderapura yang pernah jaya dahulunya di bumi ranah minang ini.(Basriandi Abbas)

Jumat, 27 Maret 2009

Monumen Thomas Parr

Monumen Thomas Parr

Monumen ini dikenal rakyat Bengkulu dengan sebutan Kuburan Bulek (bulat) karena bentuk monumen tersebut yang berbentuk bulat. Disinilah dikubur seorang penguasa Inggris Residen Thomas Parr. Ia seorang penguasa yang kejam. Sejak ia berkuasa tahun 1805, ia memaksa rakyat menanam komoditi yang laku di pasaran dunia. Sejauh 1 km dari kawasan ini juga terdapat komplek pemakaman warga eropa terutama Inggris. Taman pemakaman ini menjadi obyek wisata sejarah dan nostalgia terutama bagi warga negara Inggris yang berkunjung.

Rumah Pengasingan Bung Karno

Sungguh tiada dapat dipungkiri bahwa kharisma, ketauladanan dan kematangan jiwa sebagai seorang pemimpin besar yang terdapat pada diri Ir. Soekarno – Sang Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia – merupakan hasil dari rangkaian proses yang penuh dengan pahit getirnya perjuangan. Seluruh romantika itu seolah harus beliau alami sebagai prasyarat untuk mengambil ‘tuah’ untuk mengayomi seluruh rasa dan gelora Bangsa Indonesia yang akan dipimpinnya di kemudian hari. Lembaran-lembaran kehidupan telah ‘mengasah’, ‘mengasih’ dan ‘mengasuh’ beliau hingga akhirnya muncul dari inti bumi, menjadi ‘mutiara pertiwi’ yang menyinari perjuangan bangsa dengan hati dan jiwa yang tetap membumi.
Salah satu lembar penitis ’tuah’ kepemimpinan itu adalah perjalanan pengasingan ‘Sang Maestro’ di Bengkulu. Dengan tendensi untuk membuat perjuangan beliau mati, penjajah Kolonial Belanda mengirim Ir. Soekarno ke Bumi Raflesia yang saat itu sangat terpencil dan merupakan wilayah ex-kolonialisme Inggris yang ditukar guling oleh Belanda dengan pulau kecil Singapura di Selat Malaka.
Namun siapa nyana, ternyata di tempat ini justru beliau menerima ‘wangsit keagungan’-nya sebagai ‘kusuma’ bangsa. Hari-hari di pengasingan ternyata bukan lah hari-hari yang kelam dan sia-sia. Namun justru menjadi hari-hari yang membuat beliau mendapatkan banyak ’mukjizat’. Dari bumi ’Bengkulen’ ini Sang Proklamator mendapatkan titisan Pemimpin Besar Nusantara yang disegani oleh seluruh penjuru dunia. Konon, berbagai spirit pusaka dari Bengkulu selalu menjadi bagian penting dalam kepemimpinan beliau.
Lebih dari itu, kepemimpinan ’Sang Bapak Bangsa Indonesia Sepanjang Masa’ ini seolah tiada dapat dipisahkan dari kesempurnaan yang begitu indah dari keteduhan sekeping hati seorang Putri Bengkulu, Fatmawati. Kehangatan jiwa seorang Fatmawati menjadi penyempurna segala kebahagiaan dan penghapus segala keluh ’Sang Pemimpin’ dalam meretas bulir demi bulir keringat perjuangan kemerdekaan bangsa.
Dalam segala kesederhanaannya, ’Sang Bunga Pertiwi’ tampil menjadi ’sandaran hati’ kebanggaan sang suami; menjadi ibu yang mengayomi seluruh anak negeri. Perjuangan merebut kemerdekaan yang ditasbihkan dengan pernyataan ’Proklamasi Kemerdekaan’ oleh Sang Proklamator disempurnakan dengan begitu indah oleh ’Bu Fat’ dengan lentik jari mungilnya yang halus kuning langsat merangkai lembaran kain ’Merah Putih’ – Bendera Pusaka. Amanah rakyat sebagai Presiden Pertama RI yang harus diemban ’Bung Karno’ disempurnakan dengan begitu tulus dan bersahaja oleh Fatmawati sebagai Ibu Negara pertama Indonesia.
Kisah pahit getir perjuangan di pengasingan, keteguhan hati, spirit kejuangan, kebersamaan dengan rakyat, hingga kisah romantisme sebagaimana dituturkan diatas terekam dengan begitu lengkap, nyata dan terpelihara dengan baik di sebuah rumah di Jalan Soekarno – Hatta, Kelurahan Anggut Atas Kota Bengkulu. Rumah yang didiami oleh Ir. Soekarno semasa pengasingannya di Bengkulu Tahun 1938 s/d 1942.
Rumah kediaman ini menjadi situs sejarah yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia saat ini. Oleh karenanya untuk kepentingan pengembangan dan pemeliharaan kelangsungan aset sejarah, situs ini berikut areal di sekitarnya telah direvitalisasi menjadi Kawasan Persada Bung Karno. Dengan ini diharapkan seluruh ’anak negeri’ dan pengunjung dapat memahami betapa Bengkulu memegang peranan yang sangat penting bagi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Datanglah ke Bengkulu, dan rasakan betapa bangganya menjadi Bangsa Indonesia !!!! (La Fortuna)

Tugu Hamilton

Hamilton adalah salah satu tentara Inggris yang gugur dalam sebuah pertempuran terbuka menghadapi perlawanan rakyat Bengkulu pada masa kolonialisme Inggris di Bengkulu. Untuk mengenang kegigihan dan semangat patriotismenya yang tinggi maka Pemerintah Kolonial Inggris pada masa itu membangunkan sebuah monumen berbentuk semacam tugu di pesisir pantai Panjang Kota Bengkulu. Tempat dimana monumen itu dibangun saat ini menjadi sebuah situs sejarah yang cukup penting hingga akhirya Pemerintah Daerah menempatkannya di titik tengah sebuah bundaran persimpangan arah jalan menuju berbagai situs dan kawasan objek Wisata di Kota Bengkulu. Mengingat patriotisme tentunya akan membuat anak cucu ‘Hamilton’ berbangga pada moyang mereka ini. (La Fortuna)

Kompleks Makam Warga Inggris

Dalam rentang masa pendudukannya cukup banyak orang-orang dari kerajaan Inggris yang akhirnya meninggal dunia di Bengkulu. Selain meninggal karena peperangan menghadapi perlawanan rakyat Bengkulu, ada juga yang meninggal karena sakit maupun sebab-sebab lainnya. Dan sebagai bangsa yang besar tentunya masyarakat kolonial Inggris di Bengkulu saat itu melakukan berbagai ritual untuk memberikan penghormatan bagi jenazah-jenazah mereka.
Salah satu prasasti yang mencerminkan adanya ritual penghormatan tersebut adalah adanya kompleks makam khusus warga Inggris di suatu areal tertentu yang dihiasi dengan berbagai ornamen dan simbol-simbol yang bercorak Eropa yang kental nuansa Inggris sebagai bangsa maritim. Bertakhtakan batu nisan yang kokoh, kompleks pemakaman ini sarat dengan guratan-guratan yang bertuliskan cerita tentang identitas penghuni makam, riwayat hidup dan kisah kematian masing-masing penghuniya. Suasana di kompleks pemakaman benar-benar dapat membawa kita mengunjungi harmoni suasana masa lalu. Seakan kejadian yang telah berlangsung beratus-ratus tahun lampau itu baru terjadi beberapa hari yang lalu.
Keheningan suasana bathin yag menyelimuti kompleks pemakaman ini mengisyaratkan betapa sakralnya setiap ritual yang pernah terjadi disini. Kompleks pemakaman ini merupakan prasasti tepat generasi masa lalu bercerita pada anak cucunya di masa kini dan selanjutnya. Kompleks pemakaman ini bukan milik Masyarakat Bengkulu saja, tapi juga milik para anak cucu Bangsa Inggris yang nenek moyangnya telah bersemayam disini. Kompleks pemakaman ini adalah milik Bangsa Inggris yang dititipkan pada Bangsa Indonesia, yang wajib dijaga oleh kedua bangsa ini sebagai takhta atas kejayaan bersama masa lalu dan masa kini. (La Fortuna)

Rumah Kediaman Thomas Stamford Raffles

Thomas Stamford Raffles adalah Gubernur terakhir Inggris di Bengkulu sebelum akhirnya penguasaan terhadap Bengkulu di tukar oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan Pulau Kecil di ujung Semenanjung Malaka, ‘Singapura’. Dalam masa kekuasaannya Raffles tinggal di rumah ini yang selain digunakan sebagai tempat tinggal, juga dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas dalam pemerintahannya. Bangunan ‘Istana Gubenur’ ini terletak sekitar 300 meter ke arah Utara Benteng Marlborough. Diantara kedua bangunan penting ini terdapat Tugu Thomas Parr yang merupakan salah satu monumen penting baik bagi Bangsa Inggris maupun Bangsa Indonesia. Konon cerita pada masanya terdapat terowongan bawah tanah yang menghubungkan Rumah Gubernur ini dengan sisi dalam Benteng Marlborough dengan melalui sisi bawah Tugu thomas Parr.

Rumah kediaman yang lebih mengesankan sebagai ’Istana’ ini sangat kental dengan corak arsitektur Eropa. Tiang-tiang besar yang berjajar di sisi depan bangunan mengesankan kekuatan dan kemegahan. Dinding-dinding yang tebal dengan bingkai jendela yang lebar merupakan ciri khas bangunan Bangsa Eropa pada masa itu.
Setelah kemerdekaan dan terutama setelah ditetapkannya Keresidenan Bengkulu menjadi Provinsi sendiri yang terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan, Bangunan Rumah Kediaman Thomas Stamford Raffles ini di setahap demi setahap dipugar. Sekarang bangunan ini dimanfaatkan sebagai Rumah Kediaman Gubernur Bengkulu dimana sering pula digunakan sebagai tempat melakukan berbagai aktifitas pemerintahan daerah.
Bangunan ‘Istana’ Raffles ini menjadi tempat yang tak boleh dilewatkan bila kita berkunjung ke Bengkulu. Bangunan ini merupakan bagian dari rangkaian prasasti yang mengisahkan kepada kita –generasi saat ini - betapa interaksi antara masyarakat Inggris dengan masyarakat Bengkulu pada masa itu begitu sarat dengan kesan dan kisah heroisme. (Al Aksan)

Benteng Fort York Bengkulu


Situs Benteng York adalah sebuah kawasan puing-puing bebatuan bekas bagunan Fort York. Lokasi ini menjadi sebuah situs bersejarah lantaran pada zamannya, di lokasi ini pernah berdiri sebuah benteng pertahanan pertama Kolonialisme Ingggris di tanah Bengkulu. Situs benteng ini berkedudukan di Muara Sungai Bengkulu sedikit menjorok ke dalam. Bangunan ini murni berfungsi sebagai benteng pertahanan utama bangsa Inggris sebelum akhirya dipindahkan setelah selesainya pembangunan Fort Marlbrough.
Berbeda dengan suasana di situs Fort Marlborough yang lebih bernuansa wisata sejarah dan eksotisme masa kolonial, suasana di situs Fort York lebih menjanjikan bagi para pengunjung yang mengingingkan bernostalgia dengan mistisme masa lampau. Berbagai ceritera dari mulut ke mulut sangat mengesankan bahwa lawatan ke situs ini dapat membawa pegunjung berinteraksi dengan berbagai bayangan kehidupan pada zaman saat Fort ini masih digunakan. Situs ini sangat menjanjikan bagi mereka yang berjiwa penjelajah antar masa. (Al Aksan)

Benteng Marlborough Bengkulu

Fort Marlborough adalah sebuah bangunan benteng pertahanan yang terletak di pesisir pantai Tapak Paderi - Kota Bengkulu. Benteng ini dibangun oleh kolonial Inggris pada tahun 1914 – 1719 dibawah pimpinan Gubernur Jendral Josef Colin semasa pendudukan mereka di Wilayah Bengkulu. Benteng Marlborough adalah benteng terbesar yang pernah dibangun oleh Bangsa Inggris semasa kolonialismenya di Asia Tenggara.

Konstruksi bangunan benteng Fort Marlborough ini memang sangat kental dengan corak arsitektur Inggris Abad ke-20 yang ‘megah’ dan ‘mapan’. Bentuk keseluruhan komplek bangunan benteng yang menyerupai penampang tubuh ‘kura-kura’ sangat mengesankan kekuatan dan kemegahan. Detail-detail bangunan yang European Taste menanamkan kesan keberadaan bangsa yang besar dan berjaya pada masa itu. Dari berbagai peninggalan yang masih terdapat di dalam bangunan benteng dapat pula diketahui bahwa pada masanya bangunan ini juga berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan termasuk perkantoran, bahkan penjara.

Berbagai catatan sejarah pernah terjadi di Fort Marlborough ini, diantaranya tentang berbagai kejadian dalam kehidupan bangsa Inggris di Bengkulu saat itu, beberapa pesta perkawinan diantara mereka, berbagai kisah perniagaan rempah-rempah, peperangan-peperangan yang terjadi, hingga kisah gugurnya Hamilton, gugurnya Thomas Parr dan penundukan / penguasaan benteng ini selama lebih kurang enam bulan oleh perlawanan Tobo Bengkulu dengan Rajo Lelo-nya.

Dalam usia yang sudah mencapai tiga abad, nilai bangunan ini tentu lebih dari sekedar bangunan bersejarah yang berada di Bumi Bengkulu ini. Tetapi Fort Marlborough juga merupakan ‘prasasti’ yang mengisahkan tentang jalinan interaksi dua bangsa yang berbeda, yaitu bangsa Inggris dan bangsa Melayu Bengkulu’. Fort Marlborough bagaikan ‘permata sejarah’ yang menyatukan kenangan manis dari dua bangsa yang berbeda dalam sebuah untaian kalung ‘kehormatan peradaban’-nya masing-masing. Fort Marlborough adalah situs yang tiada boleh dilewatkan ketika wisatawan mengunjungi Bengkulu. (Al Aksan)

Senin, 09 Maret 2009

Jam Gadang Bukittinggi

Jam Gadang

Jam Gadang adalah sebuah menara jam yang merupakan markah tanah kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun.

Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota). Pada masa penjajahan Belanda, jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan, sedangkan pada masa pendudukan Jepang, berbentuk klenteng. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau.

Ukuran diameter jam ini adalah 80 cm, dengan denah dasar 13x4 meter sedangkan tingginya 26 meter. Pembangunan Jam Gadang yang konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden ini, akhirnya menjadi markah tanah atau lambang dari kota Bukittinggi. Ada keunikan dari angka-angka Romawi pada Jam Gadang ini. Bila penulisan huruf Romawi biasanya pada angka enam adalah VI, angka tujuh adalah VII dan angka delapan adalah VIII, Jam Gadang ini menulis angka empat d

Kamis, 05 Maret 2009

Wisata Sejarah Kerajaan Inderapura

Kerajaan Inderapura

Wisata Sejarah Peninggalan Belanda Di Sumatera Barat

Wisata Sejarah Peninggalan Belanda
  • Benteng Ford de cock
  • Benteng Van der Cavellen
  • Jembatan Air Salido Kecil
  • Gedung Balai Kota Padang
  • Jam Gadang Bukittinggi
  • Gedung Di Sawahlunto

Wisata Sejarah Kerajaan Minangkabau

Wisata Sejarah Kerajaan Minangkabau
Wisata Sejarah Kerajaan Inderapura
Wisata Sejarah Peninggalan Portugis
Wisata Sejarah Peninggalan Belanda
  • Benteng Ford de cock
  • Benteng Van der Cavellen
  • Jembatan Air Salido Kecil
  • Gedung Balai Kota Padang
  • Jam Gadang Bukittinggi
  • Gedung Di Sawahlunto
Wisata Sejarah Peninggalan Jepang
  • Lobang Jepang
Wisata Sejarah PDRI
  • Rumah PDRI di Sumpur Kudus

Pulau Cingkuk Painan

Benteng Portugis di Pulau Cingkuk pada 30 Maret 1851





Salah Satu Gerbang Benteng Portugis yang masih tersisa di Pulau Cingkuk

Reruntuhan benteng Portugis Di pulau cingkuk

Pulau Cingkuak


Pulau Cingkuak adalah pulau yang terletak berhadapan dengan batu kureta. Pulau ini termasuk dalam kawasan Objek Wisata Pantai Carocok dan hanya berjarak 400 m dari pantai Carocok. Pulau Cingkuak memiliki luas 4,5 Ha dan merupakan saksi bisu terhadap peninggalan sejarah colonial di Pesisir Selatan, yang pada masa itu merupakan pusat perekonomian dan pelabuhan Pantai Barat Sumatera.

Makam Susanna Geertruij Haije

(Amsterdam 1734-Poeloe Tjinko 1767)

, istri dari Thomas van Kempen Jansz.
(Den Haag 1729-Amsterdam 1783)

Pada Objek Wisata Pulau Cingkuak dapat dilihat Benteng Portugis dan Prasasti Madame Van Kempen. Pulau Cingkuak ramai dikunjungi wisatawan disamping para pelajar / mahasiswa yang melakukan kegiatan alam seperti kemping, hiking dan juga seringkali dijadikan objek penelitian setiap tahunnya oleh Balai Arkeologi yang berkedudukan di Medan.

Kerajaan Inderapura

salah satu makam raja inderapura

Tidak untuk dikacaukan dengan Siak Sri Inderapura, ibukota Kabupaten Siak, yang dahulunya merupakan tempat kedudukan sultan-sultan Siak.

Kerajaan Inderapura merupakan kerajaan yang berada di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan sekarang, di dekat perbatasan dengan provinsi Bengkulu. Secara resmi kerajaan ini merupakan bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung. Pada prakteknya Inderapura berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya.

Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada, dan juga emas.

Pemerintahan

Pada akhir abad ketujuh belas pusat wilayah Inderapura, yang mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya.

Daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto). Sistem pemerintahan di sini tak jauh berbeda.

Di bagian paling selatan pemerintahan dilakukan sesuai dengan adat Sumatera Selatan. Desa-desa berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh).

Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.

Pada penghujung abad ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.[1]

Sejarah

Berkembangnya Inderapura

Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Dengan melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad kelima belas, seperti daerah-daerah pinggiran Minangkabau lainnya, antara lain Indragiri dan Jambi, Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.

Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.

Saat tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan ini bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad keenam belas didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di propinsi Bengkulu). Pada masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh. Saat itu Kesultanan Aceh sudah melakukan ekspansi sampai wilayah Pariaman.

Persahabatan dengan Aceh dipererat dengan ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura, dengan Sri Alam Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh). Hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Namun kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum disingkirkan dengan dukungan para ulama.

Namun pengaruh Inderapura tak dapat disingkirkan begitu saja. Dari 1586 sampai 1588 saudara Raja Dewi memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II, sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.[1]

Kemerosotan

Di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636), seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya, Aceh berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima)di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.

Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan Iskandar Muda yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Putih yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Putih.

Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC).[1]

Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammadsyah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini menyebabkan Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayahnya, Raja Malfarsyah, dan kakak iparnya, Raja Sulaiman. Sebagai imbalan dijanjikan hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas.

Sebagai reaksi terhadap serbuan rakyat ke kantor dagang di Inderapura tanggal 6 Juni 1701 VOC membalas dengan mengirim pasukan yang tidak hanya membunuhi dan merampok penduduk tetapi juga memusnahkan semua tanaman lada yang merupakan sandaran ekonomi Inderapura. Keluarga raja Inderapura mengungsi ke pegunungan. VOC mengangkat Sultan Pesisir sebagai raja.

Inderapura akhirnya benar-benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Airhaji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Pesisir. Raja Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan meninggal di sana (1824).

Batu Angkek-Angkek,Keajaiban Alam Dari Sungayang

Batu Angkek-Angkek di Sungayang.

Sebuah batu antik berwarna hitam,ada lubang kecil ditengahnya juga ada tulisan lafadz Allah dan Muhammad dipermukaannya berbentuk seperti kura-kura,dibagian pinggirnya berwarna tembaga.Tapi ini asli batu lho.
Orang Sungayang menyebut batu tersebut dengan nama Batu Angkek-Angkek,batu ini dipercaya oleh masyarakat sekitar memiliki kekuatan gaib yang mampu meramal nasib seseorang.
Batu itu dapat meramal nasib seseorang dengan cara seseorang itu harus mencoba untuk mengangkat batu tersebut.Jika batu tersebut dapat diangkat oleh seseorang yang punya niat akan sesuatu,berarti niatnya itu akan kesampaian atau terkabul.Jika seseorang tersebut tidak dapat mengangkat batu tersebut maka niat atau maksudnya tidak akan terkabul.Begitulah Batu Angkek-Angkek ini meramal nasib seseorang.
Mau mencoba? Ada syaratnya lho. Kamu harus dalam keadaan suci (berwudhuk) menurut Agama islam.Mengucapkan Assalamualaikum ketika memasuki ruangan tempat batu itu berada.Dan membaca niat (cita-cita/keinginan kamu lho) sebelum mencoba mengangkat batu Angkek-Angkek ini.
Badan kamu besar,pasti bisa mengangkatnya.Tidak jaminan,karena banyak yang badannya kekar dan besar yang tidak dapat mengangkat batu tersebut.
Kalau saya kurus tentu tidak akan dapat mengangkatnya? buang kecemasan itu jauh-jauh.Tidak sedikit orang kurus yang berhasil mengangkatnya.Contohnya ya itu Uda Jack (lihat Unek-unek jack jagguar). Nggak yakin lah.
Orang sekitar Sungayang percaya kalau Allah dapat berkehendak sekehendakNya.
Jika anda berniat untuk mencoba mengangkat Batu anggkek-Angkek tersebut anda dapat mengunjungi sebuah rumah gadang keturunan Datuak Bandaro Kayo di Nagari Tanjuang Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah datar.Lokasinya berjarak kira-kira 11 km dari kota Batusangkar.
Menurut penjaganya yang merupakan keturunan Datuak Bandaro Kayo yang ke sembilan.Batu itu pertamakali ditemukan oleh Datuak Bandaro Kayo ketika akan memancang tonggak (tiang) rumah.
Konon dahulunya,Datuak Bandaro Kayo adalah kepala kaum suku Piliang bermimpi didatangi oleh seorang ulama besar Syech Ahmad,dalam mimpinya Syech Ahmad berpesan agar Datuak Bandaro Kayo mendirikan sebuah kampung.Sekarang kampung itu adalah Kampung Palagan.
Keanehan terjadi ketika Datuak Bandaro Kayo memulai memancangkan tonggak pertama.Ketika itu terjadi gempa lokal yang disusul dengan hujan panas selama empat belas hari empat belas malam.Dengan terjadinya peristiwa tersebut masyarakat mengadakan musyawarah.Pada saat musyawarah itu berlangsung terdengar suara aneh yang berasal dari lubang tempat Datuak Bandaro Kayo memancangkan tonggak pertama itu.Suara itu memberitahukan bahwa didalam lubang tersebut ada sebuah batu.Suara itu juga berpesan agar batu itu dijaga baik-baik.
Oleh Penemunya Datuak Bandaro Kayo Batu itu diberi nama Batu Pandapatan yang maksudnya batu yang didapat.
Entah siapa yang memulai atau siapa yang bermimpi batu tersebut dapat meramal nasib,sampai sekarang tidak diketahui.Yang didapati dari yang tua-tua hanya sebuah kepercayaan bahwa batu tersebut dapat meramal nasib seseorang dengan cara mengangkatnya.
Oleh karena batu ini sering diangkat (oleh setiap orang yang meramal nasibnya).Maka saat sekarang Batu ini lebih terkenal dengan nama Batu Angkek-Angkek ketimbang BatuPandapatan. (Angkek=Angkat).
Batu ini dipercaya oleh masyarakat memiliki kekuatan gaib dapat meramal nasib seseorang entah iya, entah tidak,entah lah.Yang jelas orang cukup banyak mendatangi Rumah Gadang keturunan Datuak Bandaro Kayo tersebut,mulai dari masyarakat sekitar,lokal dan juga nasional.

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.



Rumah Gadang Mande Rubiah

Rumah Gadang Mande Rubiah

Rumah Gadang Mande Rubiah terletak di Kecamatan Lunang Silaut dengan jarak ± 157 Km dari Kota Painan, dan ±3,5 jam dari kota Padang. Objek Wisata Rumah Gadang Mande Rubiah diperkirakan sudah ada sejak abad ke 14. pendiriannya memiliki kaitan yang sangat erat dengan Kerajaan Pagaruyuang yang terletak di Batusangkar.

Konon dikisahkan ketika terjadi huru-hara di Kerajaan Pagaruyung seorang Putri Bundo Kandung yang bernama Putri Salasiah Pinang Masak melarikan diri dan kemudian membangun isatana di hilir Batang Lunang. Maka sesuai dengan kisah tersebut diyakini adaya keturunan Mande Rubiah di daerah ini. Latar belakang inilah yang kemudian menjadi daya tarik wisata budaya sehingga Rumah Gadang ini banyak dikunjungi para wisatawan. Dilakosi ini banyak terdapat peninggalan sejarah yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat, diantaranya Tanduak Binauang, Talua Garudo dan berbagai jenis keris.

Disamping itu, anda juga dapat melihat keunikan keuburan Cindua Mato dan Bundo Kanduang yang telah ada sejak dulunya. Apabila anda berada di lokasi ini, anda bisa berdialog langsung tentang sejarah Bundo Kanduang dengan seorang Mande yang mendiami rumah gadang tersebut yang dipercaya merupakan keturunan Bundo kanduang.

LEGENDA :Kerajaan Mande Rubiah
==============================

Kerajaan yang disebut-sebut sebagai pewaris tahta Bundo Kanduang yang dikenal sebagai Raja Perempuan Pagarruyung yang paling termasyhur dan melegenda di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

Hubungan antara dua kerajaan besar ini diungkapkan dalam Kaba Cindua Mato yang sama melegendanya dengan Bundo Kanduang. Menurut cerita rakyat Minangkabau itu, disaat terjadi pertempuran hebat antara Pagarruyung dengan Kerajaan Singiang-Ngiang (selama lebih kurang 23 tahun), Bundo Kanduang dengan beberapa pengikutnya mengirab (terbang) ke langit. Bahasa itu tentu hanyalah sebagai kiasan dari kenyataan yang sebenarnya bahwa Bundo Kanduang melarikan diri ke Nagari Lunang dan mendirikan sebuah kerajaan kecil di daerah itu. Untuk menyembunyikan identitasnya, Bundo Kanduang menukar namanya dengan Mande Rubiah, yang kata awal bahasa itu dalam bahasa Minangkabau memiliki makna yang sama.

Bundo Kanduang bagi banyak ahli sejarah tetap saja sebagai tokoh yang misterius keberadaannya. Hal ini bisa jadi karena Minangkabau sebelum Islam masuk ke daerah ini tidak mengenal tradisi menulis, sehingga sejarah hanya diwariskan secara lisan dari mulut kemulut. Tidak hanya itu, tetapi sejarah pun dibungkus dalam bentuk cerita yang disebut di Ranah Minang sebagai Kaba. Berbagai kisah semisal asal keturunan Minangkabau dari Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung). Dalam Tambo Minangkabau disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain memiliki tiga orang anak laki-laki. Ketiga orang anak ini adalah Maharaja Alif, Maharaja Dipang dan Maharaja Diraja. Anak Iskandar Zulkarnain yang terakhir ini datang kedaratan Minangkabau sewaktu Gunung Marapi masih sebesar telur itik. Maharaja Diraja inilah yang kemudian dipercayai sebagai nenek moyang orang Minangkabau.

Di Lunang juga terdapat komplek makam Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Puti Bungsu, Cindua Mato dan beberapa pengikutnya. Kuburan Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Puti Bungsu dan beberapa orang pengikutnya terletak dalam satu komplek. Sementara itu kuburan Cindua Mato terpisah hampir satu kilometer dari komplek makam Bundo Kanduang. Entah mengapa makam Cindua Mato terpisah dari komplek makam yang Bundo Kanduang, yang penting semua makam manusia-manusia yang sering dijumpai dalam mitos Minangkabau itu sama-sama dikeramatkan.

Yang juga sangat menarik bagi pengunjung adalah nisan-nisan di setiap kuburan itu yang unik. Nisan yang tidak biasanya dijumpai di Minangkabau itu khabarnya didatangkan dari Aceh, makanya orang-orang setempat juga menyebutnya sebagai Nisan Aceh. Bentuk nisan itu seperti penggada Bima yang sering dijumpai di film-film. Mempunyai ukiran yang tidak terpikirkan oleh manusia sekarang bagaimana cara orang-orang dimasa ratusan tahun lalu itu membuatnya.

Bundo Kanduang, yang kemudian berganti nama menjadi Mande Rubiah, sampai sekarang tahta kebesarannya masih berlanjut hingga Mande Rubiah VII. Keberadaan Mande Rubiah sebagai penerus kebesaran Bundo Kanduang diakui di tengah-tengah masyarakat tidak hanya di Nagari Lunang, akan tetapi sampai ke daerah-daerah yang pernah dipengaruhi oleh kekuasaan Minangkabau seperti Indopuro, Muko-Muko (Bengkulu), Jambi, dan Palembang. Bahkan sampai sekarang masih ada masyarakat dari Air Bangis, yang mencari nenek moyang mereka ke Nagari Lunang.

Mande Rubiah VII, sebagai pewaris tahta Bundo Kanduang menjadi pemimpin bagi masyarakat, tidak hanya secara simbolik tapi berlaku dalam berbagai kegiatan adat, agama, bahkan pemerintahan. Dalam tataran adat, Mande Rubiah VII yang melantik atau mensyahkan penghulu nan salapan (pimpinan adat). Selain itu Mande Rubiah VII juga memberikan keputusan akhir tentang apa yang dimusyawarahkan oleh pimpinan adat. Bila Mande Rubiah VII setuju makakeputusan berlaku, bila keputusan itu kurang berkenan di hati Mande Rubiah VII, maka keputusan harus ditinjau ulang kembali.

Jejak-jejak sejarah yang ditinggalkan Bundo Kanduang di Kerajaan Mande Rubiah, selain peninggalan-peninggalan kuno yang ada di istana seperti; manuskrip, senjata-senjata, dan alat-alat rumah tangga kerajaan yang telah berusia ratusan tahun, di sekitar komplek Istana Mande Rubiah juga dapat ditemukan kuburan para tokoh yang melegenda di Minangkabau (Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Rajo Mudo, Puti Bungsu, dan Cindua Mato). Namun yang terpenting jejak yang ditinggalkan Bundo Kanduang di Nagari Lunang adalah pengaruh Mande Rubiah di tengah-tengah masyarakat yang semakin mengukuhkan bahwa beliau benar-benar sebagai penerus kebesaran tahta Ratu Minangkabau.
Di copy dari Anugrah Tour.com

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.


Rumah Gadang mande Rubiah

Museum Mande Rubiah

Latar Sejarah

Museum Mande Rubiah atau yang lebih dikenal dengan Rumah Gadang Mande Rubiah. Museum ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka peninggalan Bundo Kanduang (konon di Lunang berganti nama dengan Mande Rubiah) dan benda-benda peninggalan keturunan atau pewarisnya.

Sejarah berdirinya museum ini tidak terlepas dari sejarah hijrahnya Bundo Kanduang berserta keluarganya serta pengikutnya sekitar tahun 1520 M dari Pagarruyung ke Lunang. Ratusan tahun keberadaan rumah dan penghuninya ini sengaja disembunyikan untuk memegang amanah yang mereka terima dan harus dirahasiakan secara turun temurun. Barulah sekitar tahun 70an, mulai terbetik berita bahwa di Lunang masih ada keturunan dari Kerajaan Pagarruyung yang disertai dengan peninggalan-peninggalan kerajaan serta terdapat pula makam Bundo Kanduang, dan Tuanku, Puti Bungsu, Cindua Mato dan pengikutnya. Setelah melalui beberapa pendekatan oleh pemerintah dengan instansi terkait dengan pihak keluarga Mande Rubiah maka pada tanggal 8 - 15 Maret 1980 diresmikan Rumah Gadang Mande Rubiah sebagai Museum sekaligus dilaksanakan pameran benda-benda sejarah Mande Rubiah. Museum ini dikelola oleh Yayasan Museum Mande Rubiah melalui SK Bupati Pesisir Selatan nomor 1.08.26/268/BPT-PS/1998, dan dibawah pembinaan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Pesisir Selatan.

Koleksi

Koleksi museum berjumlah 213 buah yang terdiri dari naskah, uang logam/kerta, senjata tajam, peralatan dapur, alat upacara agama, alat upacara adat, pakai adat, telur burung garuda, senjata api, piring besar porselin, lampu, tongkat dan lain-lain.

Lokasi

Museum Mandeh Rubiah menempati areal seluas 20.000 m2 dengan luas bangunan 1000 m2 beralamat di Kampung Lubuk Sitepung, Nagari Lunang, Kecamatan Lunang Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan.

Transportasi

Untuk dapat menuju ke Museum Mande Rubiah dapat ditempuh melalui darat, laut, maupun udara dengan jarak tempuh:

- dari Bandara Internasional Minangkabau ke museum 240 km

- dari pelabuhan Teluk Bayur ke museum 230 km

- dari terminal bus ke museum 20 km.

Waktu kunjung museum

Secara khusus setiap jumat, Minggu dan hari besar Islam

Karcis masuk

Tidak dipungut biaya.

Rabu, 04 Maret 2009

MENHIR MAEK

Menhir Maek

MENHIR MAEK, Menhir adalah peninggalan sejarah berupa batu dan biasanya digunakan sebagai sarana pemujaan arwah nenek moyang oleh masyarakat pada zaman batu yang menganut paham animisme. Menhir dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan tujuan penyembahan yang akan dilakukan. menhir adalah bukti sejarah yang bisa menceritakan nilai-nilai kehidupan pada zaman batu. Di Kecamatan Suliki, tepatnya di Kenagarian Maek, terdapat 72 kelompok menhir dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang berbentuk kepala binatang, pedang atau tanduk dan diukir dengan pola-pola yang menarik. Ukuran menhir terbesar di daerah Maek adalah 50 cm X 668 cm X 405 cm. Untuk sampai ke situs purbakala ini dibutuhkan waktu 2 jam dengan menggunakan kendaraan pribadi dari kota Payakumbuh. Pengunjung akan langsung sampai di perbukitan yang seolah-olah ditanami batu dengan berbagai ukuran. Lokasi ini terletak di Koto Tinggi Maek dan paling sering dikunjungi dan dijadikan objek penelitian oleh para arkeologis Indonesia maupun mancanegara.

di copy dari Cimbuak.net

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.

Batu basurek,prasasti tentang adityawarman.

batu basurek


Batu basurek terletak didesa kubu rajo nagari lima kaum berjarak 4 km dari batu sangkar.Batu basurek ini terletak di bagian atas makam raja Adityawarman.Prasasti batu basurek ini ditulis dengan tulisan jawa kuno berbahasa sanskerta.Batu basurek ini lebarnya 25 cm tingginya 80 cm dengan ketebalan 10 cm dan berat sekitar 50 kg .

Batu basurek ini telah berumur 659 tahun.penemuan prasasti ini pertama kali ditulis pada
16 Desember 1880 oleh P.H. Van Hengst, Asisten Residen Tanah Datar. Prof. H Kern, seorang ahli dari Belanda,Ia orang yang pertama kali membahas prasasti dengan tulisan Jawa Kuno berbahasa Sanskerta itu. Pada 1917 dia menerjemahkan isinya adalah: :"Adityawarman maju perkasa, ia penguasa Kanakamedinindra atau Suwarnadwipa (Sumatera atau Tanah Emas). Ayahnya Adwayawarman. Dia keluarga Indra."

Adityawarman lahir dari rahim Dara Jingga, putri raja Darmasraya yang terletak di tepi Sungai Batanghari, Jambi. Ayahnya, Adwayawarman tadi, kerabat Keraton Singosari.

Tersebutlah, pada 1292 Kublai Khan dari Cina menyerang Singosari. Dara Jingga dan saudaranya, Dara Petak, membawa tentara membantu Singosari. Sayang, Singosari jatuh, dan akhirnya dikuasai Jayakatwang. Kemudian Raden Wijaya menggeser Jayakatwang dan mengganti nama kerajaan itu menjadi Majapahit. Raden Wijaya menikah dengan Dara Petak. Dara Jingga bercinta dengan Adwayawarman. Setelah menikah, Dara Jingga mengajak suaminya kembali ke Darmasraya -- dan lahirlah Adityawarman.

Setelah melakukan berbagai jasa untuk Majapahit, akhirnya Adityawarman jadi raja di Darmasraya. Dia memindahkan pusat kerajaannya dari Siguntur (Sawahlunto Sijunjung) ke Pagaruyung.

Sampai sekarang di Pagaruyung masih ada perbedaan pendapat apakah Adityawarman itu raja Minangkabau atau hanya raja Pagaruyung. Sebab, pada waktu itu yang dirajakan di Limo Kaum, Pariangan, dan Tanah Datar lainnya, adalah Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Katamanggungan. "Adityawarman tak lebih seorang sumando,(suami dari orang minangkabau).

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.

Batu Batikam Di Koto Tuo

Kompas/yurnaldi
BATU BATIKAM - Situs Batu Batikam di Kototuo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, merupakan salah satu peninggalan sejarah masyarakat Minangkabau. Batu Batikam adalah simbol demokrasi, yang terbentuk dari tikaman keris saat terjadi perbedaan pendapat antara Datuk Ketemanggungan dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Akan tetapi, karena kurang perawatan, situs yang berada di Dusun Tuo tersebut kini ditumbuhi lumut dan berjamur.

di copy dari kompas.com

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.

Selasa, 03 Maret 2009

Istano Silindung Bulan


Rumah Gadang Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang berdiri di Melayu Ujung Kapalo Koto atau di Balai Janggo Pagaruyung kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat adalah rumah pusaka dari Keluarga Besar Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.

Diresmikan pada tanggal 21 dan 23 Desember 1989. Merupakan pengganti Rumah Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang terbakar pada 3 Agustus 1961. Merupakan untaian dari sejarah yang panjang yang tak terputuskan dari masa kerajaan Pagaruyung tempo dulu.

Nama Si Linduang Bulan adalah nama yang diberikan kepada Istana Raja Pagaruyung setelah dipindahkan dari Ulak Tanjuang Bungo ke Balai Janggo pada tahun 1550 oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Gamuyang Sultan Bakilap Alam (Sultan Alif Kalifatullah Johan Berdaulat Fil’Alam I) Raja Alam sekaligus memegang jabatan Raja Adat dan Raja Ibadat Pagaruyung, sebagai penanda awalnya perhitungan tahun menurut tarikh Islam, sekaligus berlakunya secara resmi hukum syariat Islam di seluruh kerajaan Pagaruyung menggantikan hukum-hukum yang bersumber dari agama Budha Tantrayana. Kemudian Istano Si Linduang Bulan ini di bangun lagi pada tahun 1750, karena Istano lama telah tua dan mulai runtuh. Pada tahun 1821 Istano Si Linduang Bulan terbakar dalam kecamuk Perang Padri. Pada tahun 1869 Istano Si Linduang Bulan dibangun lagi oleh Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu kemenakan kandung dari Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dan anak dari Yang Dipertuan Gadih Reno Sori dengan Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang (pemegang jabatan Raja Adat, Raja Ibadat dan Raja Alam) setelah Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dibuang Belanda Ke Betawi. Pada tanggal 3 Agustus 1961 Istano Si Linduang Bulan terbakar lagi.

Istano Si Linduang Bulan yang ada sekarang didirikan kembali di tapak Istano yang terbakar pada tahun 1961. Pembangunannya dimulai pada tahun 1987 dan diresmikan pada tahun 1989. Diprakarsai oleh Drs. Sutan Oesman Yang Dipertuan Tuanku Tuo Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, Tan Sri Raja Khalid bin H. Raja Harun, Raja Syahmenan bin H.Raja Harun, Aminuzal Amin Datuk Raja Batuah, Basa Ampek Balai, ninik mamak Nagari Pagaruyung, anak cucu keturunan dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung dalam kaitannya sebagai “Sapiah Balahan, Kuduang Karatan”. Kemudian didorong sepenuhnya oleh Ir. H. Azwar Anas Gubenur Sumatera Barat.

Sedangkan pembangunan Istano Si Linduang Bulan dibiayai secara bersama oleh keluarga ahli waris dan anak cucu keturunan serta zuriat dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung beserta masyarakat adat.

Peresmiannya dilakukan dalam sebuah upacara adat kebesaran, melibatkan para pemangku adat se alam Minangkabau: Basa Ampek Balai, Tuan Gadang Batipuah, Tampuak Tangkai Alam di Pariangan, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum, Simarajo Nan Sambilan, Langgam Nan Tujuah, Lubuak Nan Tigo, Tanjuang Nan Ampek, Sapiah Balahan Kuduang Karatan, Kapak Radai, Timbang Pacahan dan zuriat keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung. Dihadiri para pejabat Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kodya se Sumatera Barat. Serta Undangan Khusus yang datang dari Kerabat Raja Negeri Sembilan, Sri Sultan Hamengkubuono X, dari Brunei Darussalam, keluarga Paku Alam dan Sisingamangaraja.

Di Pagaruyung terdapat dua buah istana. Pertama, Istano Si Linduang Bulan, yang berdiri di Balai Janggo Pagaruyung, sebagai istana pengganti dari istana raja yang terbakar, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kedua, Istano Basa, yang mulai dibangun pada tahun 1976 di Padang Siminyak Pagaruyung (letaknya satu kilometer dari Istano Si Linduang Bulan) di atas tanah milik keluarga ahli Waris Raja Pagaruyung yang dipijamkan kepada pemerintah selama bangunan tersebut masih berdiri. Istano Basa didirikan atas biaya sepenuhnya dari pemerintah daerah Sumatera Barat yang berfungsi sebagai musium dan objek kunjungan wisata, sedangkan istano Si Linduang Bulan dibiayai oleh ahli waris dan anak cucu keturunan dari Daulat yang Dipertuan Raja Pagaruyung.

Pada 27 Februari 2007 Istano Basa terbakar disambar petir meluluh lantakkan semua bangunan tersebut.


Bentuk, ukuran dan ukiran
Rumah Gadang Tuan Gadih Istano Si Linduang Bulan adalah rumah gadang yang sangat khusus dengan style “Alang Babega”.Mempunyai tujuh buah gonjong (tajuk) yang megah seakan mencucuk langit. Sedangkan rumah gadang lain yang ada di Minangkabau memakai bermacam style: Gajah Maharam, Rajo Babandiang, Sitinjau Lauik dan sebagainya. Style “Alang Babega “ merupakan khas style rumah gadang raja.

Istano Si Linduang Bulan disebut juga rumah gadang sambilan ruang dengan ukuran 28 x 8 meter dan di halamannya berdiri dua buah rangkiang; Si Bayau-bayau dan Si Tinjau Lauik. Rumah Gadang ini mempunyai empat buah bilik atau kamar tidur dan dua buah anjuang di samping kanan Anjuang Emas dan di samping kiri Anjuang Perak. Di bagian belakangnya terdapat sebuah dapur yang khas. Tiang penyangga rumah gadang ini berjumlah 52 buah terdiri dari: delapan buah di barisan depan disebut Tiang tapi panagua alek. Barisan kedua memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tamban suko mananti, barisan ketiga memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tangah manti salapan, salah satu dari 12 tiang ini disebut Tonggak Tuo atau disebut juga Tiang panjang simajolelo yang terletak di bagian kanan setelah pintu masuk. Barisan keempat berjumlah 12 tiang disebut “Tiang dalam puti bakuruang” yang menjadi penopang bagian tengah rumah. Selanjutnya 12 tiang lagi disebut tiang salek dindiangnyo samiek. Barisan tiang ini membatasi dinding belakang dengan bagian muka bilik atau ruang tidur. Delapan tiang lagi di bagian belakang disebut Tiang dapua suko dilabo. Kedua anjuang di ujung kiri dan kanan rumah adalah tempat “Kedudukan Rajo” atau tahta raja, yakni “Rajo Tuo” di Anjuang Emas dan “Tuan Gadih” di Anjuang Perak

Ukiran yang membalut Istano Si Linduang Bulan berjumlah lebih dari 200 macam motif ukiran. Hampir seluruh motif ukiran Minangkabau terdapat di Istano Si Linduang Bulan. Ukiran itu mendominasi bentuk luar fisik bangunan yang kaya dengan simbol-simbol. Setiap ukiran dan penempatannya mempunyai makna sendiri-sendiri, sebagai tanda bahwa Istano Si Linduang Bulan adalah rumah gadang raja atau rumah pemimpin rakyat atau sebagai”Pusat Adat”.

Beberapa motif ukirannya antara lain terdapat di bandua Ayam bagian memanjang di bawah jendela, dihiasi tiga jenis ukiran: Aka Cino Bapilin, Sikambang Manih dan Siriah Gadang. Pada bagian dinding yang lebih luas dihiasi dengan ukiran: Pucuak Rabuang dan Aka Cino ditambah dengan hiasan kaca Tabentang Kalangik. Pada jalusi di atas jendela dihiasi dengan ukiran tembus dengan motif Si Kambang Manih. Pada bagian di bawah pinggir atap yang disebut dampa-dampa dihiasi dengan tiga jenis ukiran: Pisang Sasikek, Aka Cino dan Tantadu Bararak. Pada pintu masuk ditemukan berbagai ukiran: Tupai Managun, Daun Bodi, Saik Wajik, Bungo Lado, Buah Palo Bapatah, Itiak Pulang Patang.

Banyak lagi bagian-bagian pada dinding Istano Si Linduang Bulan yang diukir dengan berbagai jenis ukiran. Umumnya ukiran-ukiran itu didominasi oleh warna-warna: merah, kuning, hitam dan diselingi oleh warna coklat (warna tanah) serta warna perak dan emas.
Di bagian dalam Istano Si Linduang Bulan semua bagian ditutupi dengan kain tabir dan langik-langik dengan sulaman bertatah warna emas dengan berbagai motif pula. Ini semua merupakan hasil kerajinan rakyat dari nagari-nagari di sekitar Pagaruyung antara lain: Sungayang, Pandai Sikek.

Sekarang Istano Si Linduang Bulan tidak lagi menampilkan sosoknya sebagai Istana Raja, karena sejak kemerdekaan Republik Indonesia, keluarga ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung sudah menyatukan diri dengan negara kesatuan Republik Indonesia. Namun begitu Istano Si Linduang Bulan tetap berfungsi sebagai Pusat Adat bagi masyarakat Minangkabau. Fungsi ini sudah merupakan adat dan menjadi bagian dari budaya bangsa.
(Sumber : Tambo Pagaruyung dan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung)

Di poskan oleh Zul Amri.


Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.